Minggu, 14 Juni 2009

Karya Sastra

JANJI LINDA
Rita Nuryanti

“Ayo dong sayang, maemnya dihabiskan! Biar sehat, biar pintar, biar jadi juara kelas!” Dengan berbagai cara mbok Imah merayu Linda agar menghabiskan makannya.
“Nggak mau! Lauknya nggak enak!” Linda menutup mulutnya, menolak suapan mbok Imah. “Aku kan minta ayam goreng kentucky, masa hanya dibelikan bakso keliling!”
“Non, ini sudah enak sekali! Anak mbok Imah lauknya paling sayur bayam sama tempe goreng. Tapi, itu malah sehat lho, Non. Bergizi! Semua sehat, walau makan seadanya. Enak kan cuma di lidah, bila sudah masuk ya sama saja!”
Linda tak bergeming. Sekali tidak mau tetap tidak mau, itu tekadnya. Biar saja baksonya dibuang atau dimakan mbok Imah. Dia berharap papa mamanya segera pulang dari rumah kakek. Kakek mendadak sakit. Karena memang harus sekolah, Linda tidak bisa ikut menengok.
“Sudah mau malam papa mama kok belum datang ya?” Linda berbisik setengah berharap. Pelan, biar tidak terdengar mbok Imah. Dia angkat telpon, ternyata handphone papa mamanya sama-sama tidak sinyal. Dengan sedikit kesal Linda menuju kamar, merebahkan diri di atas tempat tidur.
Perut Linda sakit. Melilit, lapar sekali. Dengan agak sempoyongan dia menuju meja makan. Kosong. Tak satu pun ada makanan tersisa. Dia panggil mbok Imah keras-keras. Sepi. Tiada sautan.
“Ke mana mbok Imah?” Linda jengkel, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Sayup-sayup dia mendengar tukang bubur kacang hijau menawarkan dagangannya. Linda mau beli. Ternyata dia tidak punya uang. Aneh, mengapa uangnya hilang? Mengapa papa mamanya begitu tega?
Linda membuka pintu. Keluar. Dia yakin boleh ngutang dulu. Sudah langganan, biar besok mama yang bayar. Untuk kesekian kali Linda kecewa. Tukang bubur kacang hijau sudah jauh, sudah tidak mendengar suara panggilan. Linda benar-benar merasa sial. Dia maki dirinya sendiri.
“Lapar ya, Mbak? Mau kukasih ini?” Tiba-tiba dihadapan Linda ada seorang anak dengan baju kumal mengulurkan bungkusan. Sebenarnya Linda merasa jijik, namun karena rasa lapar yang terus saja menggoda, bungkusan diterimanya juga.
“Enak saja! Kerja! Biar bisa makan, jangan hanya mengandalkan orangtua!” Selagi bungkusan sampai di tangan Linda, ditarik kembali oleh si anak kumal. Tanpa menghiraukan Linda. Bungkusan dibuka, dengan lahap dia memakannya.
Linda terhenyak. Baru kali ini dia merasa dilecehkan orang lain. Mau marah-marah, rasanya percuma. Dengan memendam segala macam rasa, dia pandangi anak di depannya yang tak tahu diri.
“Ngapain lihat-lihat?” Merasa dipelototi si baju kumal menggertak Linda. “Makanya, jadi orang kaya jangan sombong! Mentang-mentang punya banyak uang, dengan seenaknya membuang makanan! Berikan kek, pada yang tidak mampu! Tidak enak kan, kelaparan?”
Linda benar-benar sudah tidak mampu menahan perasaannya. Dia menangis. Hatinya terluka. Dia sebut mamanya. Tiba-tiba ada tangan lembut membelai rambutnya. Linda membuka mata. “Mama?! Mama sudah pulang?” Linda memeluk mamanya. Erat.
“Ada apa sayang, tidur kok menangis? Lapar ya?” kata mama.
“Nggak kok! Kangen mama aja?” Linda menutupi. Ternyata semua hanya mimpi. Dia sadar dan berjanji, tidak menyia-nyiakan makanan lagi.